Minggu, 27 September 2015

Mengenang ke 7 Perwira TNI AD yang Diculik & Dibantai Lalu Dibuang di Lubang Buaya



Kita tentu masih ingat dengan peristiwa pembantaian 7 putra terbaik bangsa Indonesia di Lubang Buaya yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Kolonel Untung dengan didukung oleh para simpatisan PKI yang telah dilatih kemiliteran. Ke 7 Putra terbaik bangsa diculik, disiksa, dibunuh dan mayat mereka dibuang disebuah sumur tua yang sempit bagai sampah yang tidak punya arti. Mengutip ucapan sang Pemimpin Besar Revolusi, arti nyawa mereka “Bagai Riak Kecil di Tengah Samudera yang Luas”. Disini penulis ingin mereflash kembali ingatan kita tentang peristiwa pembantaian ke 7 putra terbaik bangsa tersebut sekaligus memperkenalkan profil singkat tentang mereka masing-masing.


Penulis ingin mengajak para pembaca untuk selalu mengingat tentang peristiwa pembantaian para putra terbaik bangsa yang terjadi di Lubang Buaya. Hanya satu persamaan mereka. Para perwira tersebut adalah para petinggi di Markas Besar Angkatan Darat dan memiliki komitmen yang sama yaitu menolak proposal yang diajukan oleh PKI untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani yang mereka namai sebagai angkatan ke V. Kesolidan dan ketegasan mereka dalam menolak proposal yang diajukan PKI membawa mereka pada kematian yang sangat tragis.


Perlu diketahui bila peristiwa penculikan dan pembantaian ke 7 perwira TNI AD ini melibatkan anggota dari ke 4 angkatan, yaitu TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Kepolisian. Pengakuan kolonel Untung saat persidangan yang secara gentle dan ksatria membeberkan nama-nama para anggota TNI dan Kepolisian yang terlibat. Pengakuan kolonel Untung ini juga membuktikan bahwa ada kekuatan yang super besar yang mampu 
menggerakan ke 4 angkatan dalam bergerak dan itu adalah Sukarno sebagai panglima tertinggi ABRI saat itu. Sikap bangga yang ditunjukan kolonel Untung selama persidangan makin menguatkan dugaan keterlibatan Sukarno sebagai otak dari peristiwa penculikan dan pembantaian ke 7 perwira TNI AD.


Berikut adalah nama-nama para anggotan TNI dan Kepolisian yang terlibat dan ditangkap dalam kasus penculikan dan pembantaian ke 7 perwira TNI AD di Lubang Buaya.

 - Angkatan Darat : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen TNI Soepardjo dan Kolonel Infantri A. Latief

- Angkatan Laut : Mayor KKO Pramuko Sudarno, Letkol Laut Ranu Sunardi dan Komodor Laut Soenardi

- Angakatan Udara : Men / Pangau Laksyda Udara Omar Dhani, Letkol Udara Heru Atmodjo dan Mayor Udara Sujono

 - Kepolisian : Brigjen Pol. Soetarto, Kombes Pol. Imam Supoyo dan AKBP Anwas Tanuamidjaja.



Berikut adalah profil dari para perwira yang menjadi korban di Lubang Buaya.

Jenderal TNI Anumerta AHMAD YANI, bon June, 19th 1922, Purworejo.
Jabatan terakhir Menpangad
Ahmad Yani mulai mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Ahmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Ahmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Ahmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Ahmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
. Ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani bersama enam perwira lainnya yakni Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya.


Letnan Jenderal TNI Anumerta R. SUPRAPTO, born June 20th 1920,  Purwokerto.
Jabatan terakhir adalah Deputi II Menpangad
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademi di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya.


Letnan Jenderal TNI Anumerta MAS TIRTODARMO HARYONO, born January 20th 1924, Surabaya.
Jabatan terakhir adalah Deputi III Menpangad.
Letjen Anumerta M.T. Haryono  memulai pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta MT. Haryono bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya.


Letjen. Anumerta SISWONDO PARMAN, born Augustus 4th 1918, Wonosobo, Jawa Tengah.
Jabatan terakhir adalah Asisten I Menpangad.
Letjen TNI Anumerta S. Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta. Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G.
Pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.
Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta MT. Haryono; Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya.


Mayjen TNI Anumerta DONALD ISAC PANJAITAN,  9th 1925,
Jabatan terakhir adalah Deputi IV Menpangad.
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi terkenal di Indonesia. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih muda yakni 40 tahun, perjuangan beliau dalam mempertahankan tanah air sangat patut untuk diacungi jempol. Panjaitan adalah sosok pahlawan yang pernah mengenyam bangku SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabaran sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun berhasil diraihnya ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi. Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Setelah pulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, Panjaitan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan . Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.
Aksi Panjaitan atas pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan dari pihak PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta. Berkat keberaniannya membela negara, Panjaitan mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia.


Mayjen TNI Anumerta SOETOYO SISWOMIHARDJO, born Augustus 23rd 1922, Kebumen.
Jabtan terakhir Oeditur Jenderal/Inspertur Kehakiman AD
Mayjen TNI Anumerta Soetoyo menamatkan sekolah HIS di Semarang. Lalu melanjutkan pendidikan ke AMS juga di Semarang pada tahun 1942. setelah itu beliau mengikuti pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta.  Sebelum menjadi tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo.
Tugas sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan 1945. Sutoyo menjabat Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo dengan pangkat Kapten (1946).
Pada bulan Juni tahun 1946, beliau pernah menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto. Kemudian menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta (1948-1949). Pada tahun 1950 Mayor Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan tahun 1951 Danyon V CPM. Tahun 1954 beliau menjabat Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer.
Mulai tahun 1955 sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga tahun 1956. Lalu pada tahun yang sama, beliau diangkat menjadi Asisten ATMIL di London.
Setelah kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus "C" Seskoad tahun 1960. Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964 dinaikan pangkatnya menjadi Brigjen.

Sama seperti Achmad Yani, beliau juga menolak pembentukan angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dilengkapi dengan senjata.
Tanggal 1 Oktober jam 04.00 dini hari, Brigjen TNI Sutoyo diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah. Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka Pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya, dan disana beliau gugur karena dianiaya di luar batas-batas kemanusiaan oleh gerombolan G 30 S/PKI. Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.


Kapten TNI Anumerta PIERE S TENDEAN, Jakarta.
Jabatan terakhir adalah Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution.
Beliau adalah ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala Staf ABRI) pada era Soekarno. Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Pierre adalah pria blasteran Minahasa - Perancis yang fasih berbahasa Jawa. Lulusan ATEKAD tahun 1961 ini bergabung dengan corps Genie (sekarang corps Zeni) dan posisinya dua tahun junior di bawah mantan Wapres Try Sutrisno.
Setelah lulus dari pendidikan militer, ia langsung mengajukan diri untuk bergabung dengan garis depan dalam peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Wajah indo-nya membuat Pierre dengan mudah bolak balik Indonesia - Singapura sebagai intelijen untuk mengumpulkan data. Kurang lebih Pierre berhasil melakukan infiltrasi sebanyak 6 kali, yang terakhir nyaris membuatnya terbunuh.

Kapten Anumerta Tendean tewas dibunuh Gerombolan G30S/PKI karena mengaku sebagai Jenderal A.H.Nasution. . Berkat keberaniannya membela negara, Kapten TNI Anumerta Tendean mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia